Jumat, 28 Oktober 2011

NENEK ITU...


Suatu senja, ku melihat seorang nenek yang sudah tua renta berjalan dengan membungkuk keluar dari rumahnya. Agaknya usialah yang membuat nenek tersebut bungkuk. Langkahnya sangat lamban, namun nenek tersebut tidak menggunakan tongkat sama sekali sebagai alat bantunya untuk berjalan. Namun, ada satu hal yang membuatku tertarik untuk memperhatikan nenek tersebut. Ya, bingkisan yang dibawanya dengan kantong plastik berwarna hitam. Aku penasaran, untuk apa nenek tersebut membawa bingkisan segala? apakah dia tidak merasa keberatan dengan bingkisan yang dibawanya?. 

Ternyata, nenek tersebut hendak pergi kerumah tetangganya. Dengan segenap tenaga yang dimilikinya, dibukanya pintu pagar sang pemilik rumah. Kemudian keluarlah sang pemilik rumah tersebut. Kurasa yang keluar adalah anaknya. Kemudian terjadi percakapan kecil antar anak sang pemilik rumah dengan si nenek. Kemudian anak tersebut mengucapkan kata terima kasih kepada sang nenek pada akhir percakapan mereka. Kurasa nenek tersebut memberikan makanan kepada anak tersebut, karena dari kata-kata yang kudengar seperti itu. “Eh, nenek... ada apa nek? Kata anak tersebut. Lalu dibukanya bingkisan dalam kantong plastik tesebut, seraya berkata “oh, pisang.... makasih ya nek?” 

Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang tejadi. Namun, ada satu hal yang menggelitik hatiku. Sikap nenek tersebut terhadap tetangganya. Di usia yang telah senja, dengan fisik yang tidak mendukung, tidak menutup hati sang nenek tersebut untuk berbuat baik kepada tetangganya. Begitu tingginya nilai sosial yang dimiliki oleh nenek tersebut. Nilai sosial yang mungkin telah tekikis dari diri kebanyakan orang (termasuk kita). Mungkin, pisang yang dimiliki nenek tersebut tidak seberapa banyaknya, namun pisang yang sedikit tersebutlah yang dibagikannya kepada tetangganya. 

Setidaknya aku, kita semua, belajar dari nenek tersebut. Belajar mengenai bagaimana cara menanamkan rasa peduli dan nilai sosial yang tinggi terhadap sesama.

Semoga Bermanfaat :)

Selasa, 25 Oktober 2011

Gerimis Mengundang Hujan


Hari itu, senin 24 oktober 2011….

Matahari mengintip malu-malu ke permukaan bumi, memberanikan dirinya keluar dari peraduan. Hari ini dia seolah-olah enggan untuk bangkit dan menyinari bumi. Kalau saja bukan karena tugasnya, dia tidak akan terbit menyinari bumi. Dia akan memilih untuk beristirahat di peraduannya dan mengatakan kepada malam untuk selalu menyelimuti bumi dengan kegelapan. Atau… dia akan menyuruh awan untuk menutupi sinarnya dan berharap ia akan menurunkan hujan.

Akhirnya… mataharipun tidak bisa menghindari kewajibannya. Diapun dengan terpaksa keluar dari peraduannya dan memancarkan sinarnya. Hari ini… Dia seolah-olah menyapaku, dan  mengatakan “Selamat Pagi :) “ . Dia terus menyinari bumi sampai tengah hari. Diapun makin bersemangat ketika terdengar kumandang azan zuhur. Dia mengatakan kepada ku… "sri shalat…ayo shalat”. Akupun menjawab… “ok…. Ne aku juga mau  shalat

Setelah selesai shalat zuhur… ku tak lagi melihat matahari. Wajahnya ditutupi oleh awan yang kelabu. Sepertinya dia enggan untuk menyinari bumi… kurasa begitu… ah, entahlah,,  matahri kau  pengecut (kataku dalam hati) .Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ku kekampus. Kalau saja bukan karena diskusi, aku tak akan mau datang kekampus. Ku ingin sampaikan pada matahari (kau pengecut... kau biarkan hujan mengguyuri bumi). 

Tik… tik…tik… gerimis pun mengundang hujan…
 
Sesampainya dikampus…. Diskusi berjalan dengan lancar… kemudian….
innalilahi wainna ilahiraji’un” kata salah seorang teman  kelompokku. Ada apa? Kataku, Anti dan Febi menimpali. Mama salah seorang teman angkatan kita meninggal. Kapan? (Kataku)… habis zuhur ini …   (suasana pun menjadi haru dan ada beberapa teman yang menangis….)

Akhirnya ku tahu mengapa matahari ditutupi awan  kelabu. Dia bukan pengecut (ma’afkan aku  matahari… yang telah berburuk sangka kepada mu). Dia hanya mencoba mengalah karena awan tak sanggup menahan  tangisnya. 

Ya Allah…  hati ku jadi bergetar… ku jadi ingat mama ku… ah… andaikan itu aku, rasanya aku gak bakalan sanggup. Mungkin ini adalah ujian buat temanku ini, Allah lagi menguji nya.

Mungkin ini juga peringatan untuk kita semua untuk jadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua. “kita akan merasakan seberapa pentingnya sesuatu bagi diri kita setelah dia meninggalkan kita ”.