Padang, 2011
Pagi ini, di kotaku matahari mulai menampakkan
sinarnya yang berwarna kuning keemasan. Awalnya, dia agak mengintip malu-malu
ke permukaan bumi, kemudian dia memberanikan dirinya keluar dari peraduannya.
Seolah-olah tampak bagiku bahwa dia enggan bangun untuk menyinari bumi. Kalau
saja bukan karena tugasnya, dia gak bakalan terbit menyinari bumi. Dia akan
memilih untuk beristirahat di peraduannya dan mengatakan kepada malam untuk
selalu menyelimuti bumi dengan kegelapan. Atau… dia akan menyuruh awan untuk
menutupi sinarnya dan berharap ia akan menurunkan hujan sehingga dia bisa tidur
dengan nyenyak di balik tebalnya onggokan awan.
Nah itu dia. Sekarang sang matahari sudah
menampakkan keseluruhan badannya di ufuk timur. Sekarang dia sedang berdekatan
dengan bukit-bukit yang menjulang tinggi ke langit, dan dia berada diatas
bukit-bukit itu. “Hai, Selamat Pagi”. Dia seolah-olah menyapaku.
***
Geraaah...
Tengah hari begini matahari semakin bersemangat melaksanakan
tugasnya. Dia membuatku kepanasan. Tak apa... aku senang dengan cuaca cerah
begini. Kemudain terdengar kumandang azan zuhur di masjid kampus ku. Dan
matahari semakin bersinar dengan terikknya. Dia seolah-olah menyapaku lagi
dengan panas teriknya dan mengatakan "shalat…ayo
shalat zuhur”.
Setelah selesai shalat zuhur. Ku tak meraskan lagi
panas matahari yang terik. Kemudian ku lihat ke atas, matahari tak tampak lagi.
Hanya ada ongokan-onggokan awan kelabu yang membuat siang itu menjadi gelap bak
senja hari. Huft...Sepertinya dia enggan untuk menyinari bumi… kurasa begitu…
ah, entahlah... matahari kau pengecut (gumamku dalam hati).
Ya, sudahlah, dengan berat hati, kulangkahkan kaki
ku ke jurusn walaupun tanpa ditemani panasnya terik matahari. Kalau saja bukan
karena diskusi, aku lebih memilih pulang dan mengerjakan tugas-tugas kuliah
yang segunung banyaknya.
Di
perjalananku menuju jurusan, rintik-rintik air hujan mulai jatuh membasahi bumi
dan mengenai pipiku. Huft... matahari kau pengecut... kau biarkan hujan
mengguyuri bumi, dasar pengecut. (gerutuku
dalam hati).
Tik… tik…tik… gerimis pun mengundang hujan…
***
Sesampainya dijurusan. Tepatnya di balai-balai
depan jurusan teman-teman kelompokku sudah pada ngumpul. Diskusipun berjalan
dengan lancar walaupun hujan turun semakin deras.
Kemudian….
“innalillahi
wainna ilahiraji’un”
Kata salah seorang teman kelompokku yang
waktu itu tengah mendapatkan SMS dari temannya. Ada apa? Kataku, Anti dan Febi menimpali. Ibu Kiki teman angkatan kita meninggal. Kata temanku itu. Kapan? (Kataku)… habis zuhur tadi. (suasana
pun menjadi haru dan ada beberapa teman yang menangis). Begitu juga dengan
suasana hatiku, hatiku kelabu seperti cuaca hari ini. Sontak ku terdiam.
Seolah-olah tidak percaya dengan berita yang di sampaikan temanku itu. Ku coba
menahan air mata yang hendak keluar. Ku tahan, dan terus ku tahan. Akhirnya
dadaku sesak, dan ku tak mampu lagi menyeka air mataku yang turun yang sama
lebatnya dengan hujan siang ini.
Dalam diam tangisku, ku dongkakkan kepalaku ke atas
langit. Mencoba melihat adakah matahari yang mencoba mengintip di balik awan
yang kelabu. Ah… nihil… yang ku temukan hanyalah onggokan-onggokan awan kelabu
yang masih menutupi matahari. Matahari,
ma’afkan aku, ma’afkan aku yang
telah berburuk sangka kepada mu. Kau bukanlah si pengecut, kau adalah matahari
yang sangat pemberani dan berjiwa besar, kau hanya mencoba mengalah karena awan
hitam yang tak sanggup menahan tangisnya, bukan? (ucapku di dalam
hati ketika derasnya air mata yang bercucuran membasahi pipi).
Ya Allah… hati ku jadi bergetar… ku jadi
ingat ibu ku… ah… andaikan itu aku, rasanya aku gak bakalan sanggup. Disaat
sedang kuliah, tiba ada telpon dari rumah yang mengabarkan ibunya telah
berpulang. Ah… sungguh aku tak sanggup ya Allah.
Mungkin ini
adalah ujian buat temanku ini, Allah lagi menguji nya. Ya… setiap yang bernyawa
pasti akan mati. Kita yang hidup di dunia ini tentu suatu saat nanti akan
merasakan kematian. “Kullu nafsin
dzaiqotul maut”. Mungkin ini juga peringatan untuk kita semua agar menjadi anak yang
berbakti kepada kedua orangtua.
“Kita akan merasakan seberapa berharganya seseorang bagi diri kita
setelah dia meninggalkan kita ”.
Masa tugas ibu temanku tersebut sudah habis.
Sekarang dia kembali ke pada Tuhan yang telah menciptakannya. Saat itu juga,
ketia ruh dicabut dari raga hilang sudah kesempatan untuk beramal. Tak ada lagi
kesempatan untuk berbuat baik. Semua pintu untuk beramal sudah ditutup. Hanya
do’a anak yang saleh dan saleha yang mampu menolongnya di alam barzakh sana. Mengenai hal ini aku jadi
teringat dengan sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Jika
seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara. Sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang saleh” (HR. Muslim)
Ah… air mataku semakin bercucuran. Begitu banyak
pertanyaan yang muncul di benakku saat itu. Apakah
aku sudah menjadi anak yang saleh? Sehingga do’aku bisa menjadi penyejuk bagi
orangtuaku ketika dialam barzakh sana? Apakah aku siap dengan ujian Allah yang
tentunya juga akan meninmpaku suatu saat nanti? Ketika Allah berkehendak
mengambil nyawa ayah dan ibuku? Apakah kami anak-anak mereka mampu melaksanakan
tugas kami sebagai anak untuk men-shalatkan mereka ketika mereka telah tiada?
Hitam… sungguh hitam kelam hari di siang ini. Alam
seolah-olah menangis ketika mendengarkan berita bahwa seorang anak manusia,
seorang ibu dari temanku telah berpulang menghadap Rabb-Nya.
Pikiran ku melayang lagi. Aku… ketika nyawaku sudah
dicabut, akankah alam semesta ini juga akan turut menangisi kepergianku? Ataukah
jagad raya ini bersorak gembira karena kepergianku? Astaghfirullahaladziim.
Aku jadi teringat akan sebuah ungkapan yang lebih
kurang isinya begini: ketika engkau lahir, kau menangis. Sedangkan orang
disekelilingmu tersenyum. Ketika kau meninggal kau tersenyum. Sedangkan orang
disekelilingmu menangis. Subhanallah…
“Ya,
Allah, jadikanlah hamba ketika hamba tiada orang di sekeliling hamba menagisi
kepergian hamba. Sedangkan hamba tersenyum melihat indahnya pertemuan
dengan-Mu”
Semua Hening…
Sendu…
Hanya air mata yang menetes deras sederas hujan
siang itu.
***
Padang, 2012
“Pagi!!”… sapa sang mentari kepada ku
ketika ku buka jendela kamar. Matahari, dia selalu bersemangat melaksanakan
tugasnya. Aku jadi iri. Puasa-puasa begini dia masih tetap semangat. Ah… malu,
malu sekali kalau aku juga gak sesemangat matahari. Sudah, dua puluh hari ku
lewati puasa Ramadhan tahun ini. Selalu ku temui bahwa matahari melaksanakan
kewajibannya, yaitu menyinari bumi dengan penuh semangat. Tak pernah ku temui
awan kelabu yang hendak menurunkan hujan menutupi wajahnya di pagi dan siang
hari. Tak seperti tahun lalu, ketika matahari mengalah demi awan kelabu yang
hendak menumpkahkan dukanya. Dia mengalah demi awan kelabu yang tak mampu
membendung tangisnya ketika anak manusia, ibu dari temanku meninggal dunia.
Gak terasa sekarang sudah sepuluh terakhir
Ramadhan. Tepatnya sepuluh hari menjelang akhir ramadhan. Siang ini aku tengah
sibuk membantu ibu di dapur. Maklum, selama libur Ramadhan aku selalu menjadi
asisten masak ibu.
Wah…ibu
curang nih. Aku lagi sibuk-sibuknya kerja di dapur ibu malah asik nelpon di
ruang tamu. Kataku di dalam hati ketika mendengar bunyi percakapan ibu di ruang
tamu. Ah… ibu. Siapa yang nelpon bu?
Tanyaku setelah ibu selesai nelpon. Itu kak
El. Ooo… jawabku menimpali. Kak El adalah anak kakak Ayah. Nah lo, kenapa mata ibu memerah? Tanyaku
lagi. Itu nenekmu, orang tua papa meninggal.
Innalillahiwainnailahi raji’un.
Tak kuasa ku tahan tangisku. Selalu. Selalu begini,
aku selalu menahan tangisku ketika ada orang di sekelilingku. Coba kalau aku
tengah di kamar sendirian, tak ada istilah tangis yang di tahan. Lagi-lagi, kejadian
setahun yang lalu terulang kembali. Matahari ditutupi oleh awan kelabu.
Mataharipun mengalah ketika awan tak sanggup membendung tangisnya mendengar berita
langit bahwa anak manusia, orangtua dari ayahku meninggal dunia.
Selama Ramadhan, tak pernah terjadi hujan di tengah
hari. Sekarang, semua itu terjadi. Persis seperti kejadian tahun silam.
***
Alhamdulillah. Ucapku dalam hati usai nenek
dimakamkan hari itu juga. Alhamdulillah ya Rabb. Beliau meninggalnya pada hari
jum’at. Ya hari ini, ketika berita duka itu datang adalah hari jum’at. Insyaallah
Husnul khatimah. Amiiin... Syukurku.
Wallahualam
bhissawab…hanya Allah yang berhak menentukan. Adapun menurut Al-Imam Al –Albani, salah
satu tanda husnul khatimah adalah: Meninggal pada malam atau siang hari jum’at.
Seperti sabda Rasulullah S.A.W:
“Tidak ada
seorang muslim pun yang meninggal pada hari jum’at atau malam jum’at, kecuali
Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi)
Fitnah kubur disini diartikan sebagai pertanyaan
kubur. Pertanyaan yang di lontarkan malaikat ketika dialam kubur.
***
Hujan...
Bagiku hujan adalah sebuah pertanda bahwa Alam yang
sedang menangis. Tak jarang kutemui, setiap ada berita duka, mengenai orang
meninggal hari pasti selalu hujan. Bagiku, hujan adalah bukti bahwa Alam
menangisi kepergian seorang hamba menju Rabb-Nya. Wallahu’alam.
Hari ini, aku banyak belajar. Merenung tentang
hidupku. Merenung bahwa aku juga akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti.
Saat dimana aku tidak mengetahui kapan datangnya ajal. Hidupku, amal ibadahku
masih jauh dari sempurna. Aku iri, melihat orang-orang yang dimudahkan Allah
ketika akhir hayatnya. Berharap aku juga bisa seperti mereka suatu saat nanti,
ketika aku menghadap Rabb-ku di penghujung usiaku. Berharap bahwa aku di
tempatkan bersama dengan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah di akhirat
nanti.
Berita duka bagiku adalah sebuah pelajaran yang
hendak disampaikan oleh Allah kepada hambanya yang masih hidup. Sebuah
peringatan bahwa hidup itu hanya sebentar. Sebuah peringatan bahwa aku, kita
manusia untuk selalu ingat akan mati dan memepersiapkan pertemuan
dengan Allah dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Sebuah peringatan bahwa tujuan
hidup di dunia ini hanyalah sebagai hamba yang
selalu menghambakan diri kepada Allah.
Aku, di
akhir hayatku kelak berharap satu kata yang terlontar dari
mulutku yaitu kalimat: lailla haillallah.
Amiin. Tentu kita semua juga
mempunyai harapan yang sama. Semoga Allah memperkenankan kita berucap kalimat lailla haillallah di akhir hayat kita. Amiiin.
Terimakasih
ya Allah, engkau telah memberi hamba pelajaran melalui kematian.
*tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis
"Setiap yang bernyawa pasti mati-OSD"
**Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com/_8H0ken3wwtE/TCHLLcpJg7I/AAAAAAAAUDo/KqyftUK3UzI /s1600/free_rain_wallpapers_photos8.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar