Rabu, 03 Oktober 2012

Alampun Menangis Atas Kepergian Anak Manusia



Padang, 2011

Pagi ini, di kotaku matahari mulai menampakkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan. Awalnya, dia agak mengintip malu-malu ke permukaan bumi, kemudian dia memberanikan dirinya keluar dari peraduannya. Seolah-olah tampak bagiku bahwa dia enggan bangun untuk menyinari bumi. Kalau saja bukan karena tugasnya, dia gak bakalan terbit menyinari bumi. Dia akan memilih untuk beristirahat di peraduannya dan mengatakan kepada malam untuk selalu menyelimuti bumi dengan kegelapan. Atau… dia akan menyuruh awan untuk menutupi sinarnya dan berharap ia akan menurunkan hujan sehingga dia bisa tidur dengan nyenyak di balik tebalnya onggokan awan.
Nah itu dia. Sekarang sang matahari sudah menampakkan keseluruhan badannya di ufuk timur. Sekarang dia sedang berdekatan dengan bukit-bukit yang menjulang tinggi ke langit, dan dia berada diatas bukit-bukit itu. “Hai, Selamat Pagi”.  Dia seolah-olah menyapaku.
***
Geraaah...
Tengah hari begini matahari semakin bersemangat melaksanakan tugasnya. Dia membuatku kepanasan. Tak apa... aku senang dengan cuaca cerah begini. Kemudain terdengar kumandang azan zuhur di masjid kampus ku. Dan matahari semakin bersinar dengan terikknya. Dia seolah-olah menyapaku lagi dengan panas teriknya dan mengatakan "shalat…ayo shalat zuhur”.
Setelah selesai shalat zuhur. Ku tak meraskan lagi panas matahari yang terik. Kemudian ku lihat ke atas, matahari tak tampak lagi. Hanya ada ongokan-onggokan awan kelabu yang membuat siang itu menjadi gelap bak senja hari. Huft...Sepertinya dia enggan untuk menyinari bumi… kurasa begitu… ah, entahlah... matahari kau  pengecut (gumamku dalam hati).
Ya, sudahlah, dengan berat hati, kulangkahkan kaki ku ke jurusn walaupun tanpa ditemani panasnya terik matahari. Kalau saja bukan karena diskusi, aku lebih memilih pulang dan mengerjakan tugas-tugas kuliah yang segunung banyaknya.
 Di perjalananku menuju jurusan, rintik-rintik air hujan mulai jatuh membasahi bumi dan mengenai pipiku. Huft... matahari kau pengecut... kau biarkan hujan mengguyuri bumi, dasar pengecut. (gerutuku dalam hati). 
Tik… tik…tik… gerimis pun mengundang hujan… 
***
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCSFVPDk2oYpYkdC878V9TaOYXlF6_P17Kvg9OFO7-qQHQ3zyv7EZvO2vnF5qIGqRbERZmO064KSj27zWsGNj5l0IcRiK9TDxlT-pNx2600pyUUSNN0Asq-XFh-CResYm6_YnfVJ7V_Es/s1600/free_rain_wallpapers_photos8.jpg 
Sesampainya dijurusan. Tepatnya di balai-balai depan jurusan teman-teman kelompokku sudah pada ngumpul. Diskusipun berjalan dengan lancar walaupun hujan turun semakin deras.
Kemudian….
innalillahi wainna ilahiraji’un”
 Kata salah seorang teman  kelompokku yang waktu itu tengah mendapatkan SMS dari temannya. Ada apa? Kataku, Anti dan Febi menimpali. Ibu Kiki teman angkatan kita meninggal. Kata temanku itu. Kapan? (Kataku)… habis zuhur tadi.  (suasana pun menjadi haru dan ada beberapa teman yang menangis). Begitu juga dengan suasana hatiku, hatiku kelabu seperti cuaca hari ini. Sontak ku terdiam. Seolah-olah tidak percaya dengan berita yang di sampaikan temanku itu. Ku coba menahan air mata yang hendak keluar. Ku tahan, dan terus ku tahan. Akhirnya dadaku sesak, dan ku tak mampu lagi menyeka air mataku yang turun yang sama lebatnya dengan hujan siang ini.
Dalam diam tangisku, ku dongkakkan kepalaku ke atas langit. Mencoba melihat adakah matahari yang mencoba mengintip di balik awan yang kelabu. Ah… nihil… yang ku temukan hanyalah onggokan-onggokan awan kelabu yang masih menutupi matahari. Matahari, ma’afkan aku, ma’afkan aku yang telah berburuk sangka kepada mu. Kau bukanlah si pengecut, kau adalah matahari yang sangat pemberani dan berjiwa besar, kau hanya mencoba mengalah karena awan hitam yang tak sanggup menahan  tangisnya, bukan? (ucapku di dalam hati ketika derasnya air mata yang bercucuran membasahi pipi). 
Ya Allah…  hati ku jadi bergetar… ku jadi ingat ibu ku… ah… andaikan itu aku, rasanya aku gak bakalan sanggup. Disaat sedang kuliah, tiba ada telpon dari rumah yang mengabarkan ibunya telah berpulang. Ah… sungguh aku tak sanggup ya Allah.
 Mungkin ini adalah ujian buat temanku ini, Allah lagi menguji nya. Ya… setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kita yang hidup di dunia ini tentu suatu saat nanti akan merasakan kematian. “Kullu nafsin dzaiqotul maut”. Mungkin ini juga peringatan untuk kita semua agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua.
Kita akan merasakan seberapa berharganya seseorang bagi diri kita setelah dia meninggalkan kita ”.
Masa tugas ibu temanku tersebut sudah habis. Sekarang dia kembali ke pada Tuhan yang telah menciptakannya. Saat itu juga, ketia ruh dicabut dari raga hilang sudah kesempatan untuk beramal. Tak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik. Semua pintu untuk beramal sudah ditutup. Hanya do’a anak yang saleh dan saleha yang mampu menolongnya di alam barzakh sana. Mengenai hal ini aku jadi teringat dengan sabda Rasulullah yang berbunyi:
“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara. Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan do’a anak yang saleh” (HR. Muslim)
Ah… air mataku semakin bercucuran. Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benakku saat itu. Apakah aku sudah menjadi anak yang saleh? Sehingga do’aku bisa menjadi penyejuk bagi orangtuaku ketika dialam barzakh sana? Apakah aku siap dengan ujian Allah yang tentunya juga akan meninmpaku suatu saat nanti? Ketika Allah berkehendak mengambil nyawa ayah dan ibuku? Apakah kami anak-anak mereka mampu melaksanakan tugas kami sebagai anak untuk men-shalatkan mereka ketika mereka telah tiada?
Hitam… sungguh hitam kelam hari di siang ini. Alam seolah-olah menangis ketika mendengarkan berita bahwa seorang anak manusia, seorang ibu dari temanku telah berpulang menghadap Rabb-Nya.
Pikiran ku melayang lagi. Aku… ketika nyawaku sudah dicabut, akankah alam semesta ini juga akan turut menangisi kepergianku? Ataukah jagad raya ini bersorak gembira karena kepergianku? Astaghfirullahaladziim.
Aku jadi teringat akan sebuah ungkapan yang lebih kurang isinya begini: ketika engkau lahir, kau menangis. Sedangkan orang disekelilingmu tersenyum. Ketika kau meninggal kau tersenyum. Sedangkan orang disekelilingmu menangis. Subhanallah…
“Ya, Allah, jadikanlah hamba ketika hamba tiada orang di sekeliling hamba menagisi kepergian hamba. Sedangkan hamba tersenyum melihat indahnya pertemuan dengan-Mu”
Semua Hening…
Sendu…
Hanya air mata yang menetes deras sederas hujan siang itu.
***
Padang, 2012
“Pagi!!”… sapa sang mentari kepada ku ketika ku buka jendela kamar. Matahari, dia selalu bersemangat melaksanakan tugasnya. Aku jadi iri. Puasa-puasa begini dia masih tetap semangat. Ah… malu, malu sekali kalau aku juga gak sesemangat matahari. Sudah, dua puluh hari ku lewati puasa Ramadhan tahun ini. Selalu ku temui bahwa matahari melaksanakan kewajibannya, yaitu menyinari bumi dengan penuh semangat. Tak pernah ku temui awan kelabu yang hendak menurunkan hujan menutupi wajahnya di pagi dan siang hari. Tak seperti tahun lalu, ketika matahari mengalah demi awan kelabu yang hendak menumpkahkan dukanya. Dia mengalah demi awan kelabu yang tak mampu membendung tangisnya ketika anak manusia, ibu dari temanku meninggal dunia.
Gak terasa sekarang sudah sepuluh terakhir Ramadhan. Tepatnya sepuluh hari menjelang akhir ramadhan. Siang ini aku tengah sibuk membantu ibu di dapur. Maklum, selama libur Ramadhan aku selalu menjadi asisten masak ibu.
Wah…ibu curang nih. Aku lagi sibuk-sibuknya kerja di dapur ibu malah asik nelpon di ruang tamu. Kataku di dalam hati ketika mendengar bunyi percakapan ibu di ruang tamu. Ah… ibu. Siapa yang nelpon bu? Tanyaku setelah ibu selesai nelpon. Itu kak El. Ooo… jawabku menimpali. Kak El adalah anak kakak Ayah. Nah lo, kenapa mata ibu memerah? Tanyaku lagi. Itu nenekmu, orang tua papa meninggal.
 Innalillahiwainnailahi raji’un.
Tak kuasa ku tahan tangisku. Selalu. Selalu begini, aku selalu menahan tangisku ketika ada orang di sekelilingku. Coba kalau aku tengah di kamar sendirian, tak ada istilah tangis yang di tahan. Lagi-lagi, kejadian setahun yang lalu terulang kembali. Matahari ditutupi oleh awan kelabu. Mataharipun mengalah ketika awan tak sanggup membendung tangisnya mendengar berita langit bahwa anak manusia, orangtua dari ayahku meninggal dunia.
Selama Ramadhan, tak pernah terjadi hujan di tengah hari. Sekarang, semua itu terjadi. Persis seperti kejadian tahun silam.
***
Alhamdulillah. Ucapku dalam hati usai nenek dimakamkan hari itu juga. Alhamdulillah ya Rabb. Beliau meninggalnya pada hari jum’at. Ya hari ini, ketika berita duka itu datang adalah hari jum’at. Insyaallah Husnul khatimah. Amiiin... Syukurku.
Wallahualam bhissawab…hanya Allah yang berhak menentukan. Adapun menurut Al-Imam Al –Albani, salah satu tanda husnul khatimah adalah: Meninggal pada malam atau siang hari jum’at. Seperti sabda Rasulullah S.A.W:
Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal pada hari jum’at atau malam jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi)
Fitnah kubur disini diartikan sebagai pertanyaan kubur. Pertanyaan yang di lontarkan malaikat ketika dialam kubur.
***
Hujan...
Bagiku hujan adalah sebuah pertanda bahwa Alam yang sedang menangis. Tak jarang kutemui, setiap ada berita duka, mengenai orang meninggal hari pasti selalu hujan. Bagiku, hujan adalah bukti bahwa Alam menangisi kepergian seorang hamba menju Rabb-Nya. Wallahu’alam.
Hari ini, aku banyak belajar. Merenung tentang hidupku. Merenung bahwa aku juga akan mengalami hal yang sama suatu saat nanti. Saat dimana aku tidak mengetahui kapan datangnya ajal. Hidupku, amal ibadahku masih jauh dari sempurna. Aku iri, melihat orang-orang yang dimudahkan Allah ketika akhir hayatnya. Berharap aku juga bisa seperti mereka suatu saat nanti, ketika aku menghadap Rabb-ku di penghujung usiaku. Berharap bahwa aku di tempatkan bersama dengan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah di akhirat nanti.
Berita duka bagiku adalah sebuah pelajaran yang hendak disampaikan oleh Allah kepada hambanya yang masih hidup. Sebuah peringatan bahwa hidup itu hanya sebentar. Sebuah peringatan bahwa aku, kita manusia untuk selalu ingat akan mati dan memepersiapkan pertemuan dengan Allah dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Sebuah peringatan bahwa tujuan hidup di dunia ini hanyalah sebagai hamba yang selalu menghambakan diri kepada Allah.
Aku, di akhir hayatku kelak berharap satu kata yang terlontar dari mulutku yaitu kalimat: lailla haillallah. Amiin. Tentu kita semua juga mempunyai harapan yang sama. Semoga Allah memperkenankan kita berucap kalimat lailla haillallah di akhir hayat kita. Amiiin.
Terimakasih ya Allah, engkau telah memberi hamba pelajaran melalui kematian.

*tulisan ini diikut sertakan dalam lomba menulis 
"Setiap yang bernyawa pasti mati-OSD" 


**Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com/_8H0ken3wwtE/TCHLLcpJg7I/AAAAAAAAUDo/KqyftUK3UzI  /s1600/free_rain_wallpapers_photos8.jpg

Tidak ada komentar: