Dilahirkan di Mekkah 23 tahun sebelum terjadi peristiwa
Hijrah. Nama lengkapnya Sa’ad bin Malik bin Ahib bin Abdul Manaf az-Zuhri.
Biasa dipanggil Abu Ishak. Gelarnya ‘Faaris al-Islam (Kesatria Islam). Beliau
adalah paman Rasulullah. Mengenai pribadinya, tubuhnya tidak terlalu tinggi
tapi perutnya berisi. Lututnya panjang dan jari-jarinya tebal. Rambut kepalanya
lebat.
Sa’ad bin Abi Waqqas masuk Islam bermula dari sebuah mimpi.
Malam telah larut, ketika Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya.
Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam
kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya
bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian
dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang
terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita
menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah
penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash
melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.
Sejak ia bermimpi yang demikian
itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi
Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh.
Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih
belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak
saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan
bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam
diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya.
Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat
dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya,
sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara
dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai
pengorbanan.
Pekerjaan Sa’ad adalah membuat
tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah
yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini.
Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita
hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun.
Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki
pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu
penyembah berhala.
Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad
mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat
pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw,
sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah
beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya
sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia
menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk
pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat
syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu
baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama
yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin
Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian
kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah
ini.
Diantara ujian yang dirasa paling
berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak
rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah
melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu
saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang
belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah,
Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?" Rupanya
Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali.
Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata
lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa,
Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban
anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah
meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak
rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek
moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak
dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara
dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia,"
jawab Sa'ad.
Kemarahan ibunya semakin
menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini.
Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali
taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau
makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu
mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan
dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada
agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari
keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya
cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman
yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah
sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.
Malam berikutnya, Sa’ad kembali
membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita
yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia
kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada
pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan
sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara,
cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia
menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar
kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda
sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu,
tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga.
Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau
tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu
Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.
Akhirnya ia mulai mengerti dan
sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati
ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah
merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak
yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka
ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan
bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat
diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.
Keesokan paginya, Sa’ad pergi
menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw,
turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah
dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15).
Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi
Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an
telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang
Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia
adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi
nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila
Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan
doanya.
Pada suatu hari, ketika Rasulullah
saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit
seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada
sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang
laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasulullah saw,
para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat
siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.
Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu,
dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang
berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena
keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang
dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama
melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula
terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang
dijamin oleh Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda
Nabi Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan
bagimu”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam
setiap pertempuran.
Doa Sa’ad bin Abi Waqqash yang senantiasa dikabulkan
Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,“Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia
berdoa.”
Manakala beliau didoakan seperti
itu oleh Nabi saw, maka setiap doanya senantiasa dikabulkan oleh Allah.
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata,“Suatu ketika penduduk Mekah
mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa
shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, ‘Aku mengerjakan shalat sesuai
dengan shalatnya Rasulullah saw. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan
lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan
dengan ringkas.’ Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya
prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq.’ Dia kemudian mengutus beberapa orang
untuk bertanya tentang dirinya di Kufah, ternyata ketika mereka mendatangi
masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika
mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata,
‘Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil
dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam. Setelah itu
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ‘Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah
matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya.’”
Abdul Malik berkata,“Pada saat itu
aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana
keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa
Sa’ad.”(HR. Muttafaq ‘Alaihi).
Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib,
bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad
menegurnya,“Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku.’ Tetapi pria itu tidak
mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan
berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul
menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas
meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku
melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, ‘Selamat kamu wahai Abu Ishaq,
doamu terkabulkan.’”
Memimpin Perang melawan Kekaisaran Persia
Penolakan kaisar Persia membuat air mata Sa'ad bercucuran.
Berat baginya melakukan peperangan yang harus mengorbankan banyak nyawa kaum
Muslim dan non Muslim. Kepahlawanan Sa'ad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta
emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah.
Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.
Bersama tiga ribu pasukannya, ia berangkat menuju
Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari
300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di
antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah.
Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta
sebagai perawat dan tenaga bantuan.
Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk
melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang
dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.
Sebelum memulai peperangan, atas instruksi Umar bin Khattab yang
menjadi khalifah saat itu, Sa'ad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird
dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang
pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin
yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird. Untuk
mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada
Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling
dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik
yaitu surga.
Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu
menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran
karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim
dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena
tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti,
bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan
menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa. Ketika tengah berpikir, Sa'ad
akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring
sakit, Sa'ad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya'
ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang
tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Sa'ad berganti pakaian kemudian menunaikan
salat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Sa'ad
bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan
berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu
orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar
dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu.
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi
Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit
Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan
Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama
untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir
pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia
dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar