Menjadi
Asing
Tulisan ini ku ambil dari blognya bang bigzaman.
Walaupun hanya copas, aku harap mampu memberikan kebaikan kepada teman-teman
yang membaca blog ini.
oleh
: Muhammad Iqbal (iqbal_uhuiiyy@yahoo.com)
Pantai
Krueng Mane, 2028, dalam dimensi Iqbal
Nak,
ayah sengaja bawa kamu ke sini karena mau ngomong serius sama kamu. Sekarang
kamu sudah baligh. Kamu relatif sudah bisa membedakan yang benar dan yang
enggak. Tapi kamu masih terlalu muda buat kenal dunia secara luas, seluas laut
dan langit di depan kamu itu.
Nak,
apa kamu pernah menerka kenapa ayah sangat membatasi kamu nonton TV, kenapa
ayah sering potong kabel TV yang baru dibeli ibumu? Apa kamu tahu kenapa ayah
sering ajak kamu menjauhi keramaian, kenapa ayah sering banting pemutar musik
kamu? Kamu tahu, nak? Itu karena ayah sayang kamu dan gak mau kamu jadi
orang-orang bentukan media mainstream yang gak islami.
Pada
umumnya mereka itu bikin kamu tahu dalam ketidaktahuan. Kamu jadi tahu cara
bikin orang ketawa, cara supaya dunia melihat kamu, cara berbahasa yang up
to date, dan cara tetap ikut tren. Kamu jadi tahu si artis anu lagi bunting
7 bulan. Kamu dijejali dengan informasi-informasi gak penting, se-gak penting
artis anu baru ngerayain ulang tahunnya di Food Court Pondok Indah Mal.
Tapi
nak, kamu gak diajarin kamu harus gimana kalau kamu mimpi basah, apa yang harus
kamu lakukan kalau mau nikah tapi belum siap. Kamu gak diajarin bahwa onani itu
masuk dalam tujuh dosa besar. Kamu gak diajarin cara milih calon pasangan hidup
yang benar, apa kriterianya.
Kamu
jadi tahu batasan HAM tapi tidak hukum islam. Kamu jadi tahu cara ngitung PPn,
tapi ngitung zakat kebun kamu sendiri aja bingung. Kamu jadi tahu di Bangladesh
itu orang kebanjiran terus, tapi kamu malah gak tahu komplek sebelah kita juga
kebanjiran. Siaran setengah jam pagi-pagi itu jelas kurang nak. Bahkan kamu
sama sekali gak dibikin ngerti cara baca Quran. Bedain “fa” sama “qof” aja gak
bisa, gimana mau paham, anakku?
Kamu
nanti malah jadi bingung, di TV diajarin menikah sama anak di bawah umur itu
bejat gak ketulungan, apa kamu mau bilang Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah
umur 6 tahun itu bejat? Di TV diajarin makan jilat tangan itu gak sopan, tapi
di hadits kamu temui sunahnya itu malah jilat tangan. Di TV diajarin kalau
ketemu orang itu salaman, padahal di hadits yang kamu pelajari, lebih baik kamu
ditusuk besi panas daripada bersentuhan dengan bukan mahrom. Di TV disiarkan
bahwa lesbi dan homo itu manusiawi dan sudah lazim, tapi di hadits, mereka itu
layak dihukum mati.
Ayah
paling takut kamu mengarah ke logika-logika praktis begitu. Ayah takut kamu
menomorduakan Quran Hadits karena gak logis menurut kamu. Camkan ini nak, agama
itu bukan dibangun dari logika, dan agama itu jauh dari kelogisan-kelogisan
yang ada di novel Sophi’s World, walaupun dia jadi best seller internasional
selama beberapa tahun. Nak, Al-Quran itu sudah jadi super best seller
se-semesta selama belasan abad.
Kalau
agama ini menuruti kelogisanmu, gak akan ada cerita 313 pasukan islam dengan
perbekalan dan senjata yang jauh dari memadai bisa menang melawan 1.000 pasukan
kafir dengan perbekalan dan senjata yang berlebihan waktu perang Badr. Gak akan
ada cerita pasukan islam masih bertahan di perang Khandaq setelah dikepung dari
segala penjuru. Gimana mungkin ada bantuan angin dalam perang di abad ketujuh?
Nonsense! Itu semua gak akan masuk ke logikamu, nak.
Kamu
akan wudhu dengan membasuh duburmu kalau kamu mau ikut logika, tapi bukan
begitu yang diajarkan, nak. Kita gak tahu apa-apa. Keimanan itu bukan
kelogikaan. Iman itu artinya percaya. Percaya bahwa aturan itu tepat walau gak
masuk logika kamu.
Itu
kenapa kamu harus mendalami Quran Hadits dengan mantap. Kamu tahu kan, bahwa
ilmu yang wajib dicari itu ada tiga: ayat yang menghukumi, sunah yang
ditegakkan, dan ilmu hukum waris. Intinya kamu wajib belajar Quran Hadits. Ilmu
yang di luar itu statusnya cuma ilmu tambahan. Ayah sama sekali bukan melarang
kamu sekolah sampai title kamu 10 biji, kalau ada. Sekolahlah tinggi-tinggi, cari
ilmu sebanyak-banyaknya, itu positif.
Ayah
cuma takut, kamu bisa menghitung bulan itu tepat ada di atas kepala kamu pada
tanggal berapa jam berapa, tapi kamu kebingungan ngitung waris waktu ayahmu ini
meninggal. Ayah takut kamu bisa fasih luar biasa berbahasa Inggris, tapi salam
aja ngomongnya “semlekum”. Ayah gak mau kamu hapal irregular verb dan certain
adjective, tapi gak hapal siapa saja mahrom kamu.
Ayah
gak mau kamu bisa bedain processor bagus dan enggak, bisa bedain awan cumulus dan
nimbus, bisa bedain membran sel dan membran mitokondria, tapi kamu gak bisa
bedain halal-haram dan suci-najis. Dan hal-hal semacam itu. Ayah takut kamu
kuasai dunia tapi gak ngerti hukum islam, nak.
Ayah
gak kebayang, pascatiada nanti kamu jawab apa waktu ditanya, “Kenapa dulu kamu
lebaran duluan dibanding tetanggamu?” Apa kamu bakal jawab, “Abis di tanggalan
lebarannya tanggal segitu, saya kan gak tahu aturan sebenarnya gimana.” Terus
ditanya lagi, “Lantas, kenapa kamu tidak cari tahu ilmunya?” Apa kamu berani
jawab begini, “Saya kan mau sekolah sampai S3, mau punya rumah besar, mau jadi
anggota dewan, target saya banyak, jadi belum sempat mendalami islam.” Berani?
Al
‘ilmu qobla ‘amal, nak. Beramal setelah kamu punya ilmunya, jangan
sembarangan ikut-ikutan. Orang tahlilan kamu ikut tahlilan. Orang pacaran
kamu ikut pacaran. Aduuuh, nak. Jangan. Jangan jadi orang yang “qila wa qola”,
masih gak jelas dasarnya, eh malah disampaikan. Jangan katanya katanya. Kamu
harus tahu betul apa dalilnya, hukumnya gimana, baru bisa melakukan atau
menanggapi sesuatu. Kamu tahu kan, qila wa qola itu termasuk satu dari tiga hal
yang dibenci Allah? Coba buka lagi kitab Muslim kamu.
Dalamilah
ilmu agama, nak. Malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya karena senang
padamu yang sedang mencari ilmu. Sampai ikan-ikan di lautan, semua mendoakanmu,
nak. Kalau kamu jadi pengajar dan pengamal Al-Quran, ayah bakal dapat mahkota
emas yang terangnya lebih dari matahari. Itu jauh lebih membanggakan dari ayah
dipanggil mau diberi penghargaan karena kamu meraih nobel. Ayah dapat mahkota,
kamu tentu dapat lebih dari itu, nak.
Setelah
ilmumu kuat, aplikasikan, sebarkan, dan perjuangkanlah semaksimal yang kamu
bisa, nak. Jangan takut cacian orang. Jangan menyerah walau sedunia ini
memusuhi kamu. Gigit agamamu dengan gigi geraham. Lebih baik kamu hidup dengan
ngangon kambing di Gunung Leuser sana ditemani 200 harimau sumatera daripada
kamu hidup makan enak dan mudah tapi gak bisa aplikasikan agamamu.
Nak,
dari dulu orang hebat itu selalu dianggap asing di zamannya. Itu bukan berarti
kamu harus menjadi asing, nak, bukan. Tapi, risiko kamu “diasingkan” masyarakat
itu besar kalau kamu bawa nilai-nilai baru, atau nilai-nilai lama yang dianggap
baru.
Anak
muda seperti kamu punya tenaga dan semangat yang jauh lebih besar daripada
orang tua kayak ayah begini. Ibnu Umar, pada usia 13 tahun ingin ikut dalam
Perang Badr, tapi dilarang, nak, karena masih terlalu muda. Ia akhirnya ikut
dalam perang Khandaq pada umur 15 tahun. Sejak belia, beliau senang mencari
ilmu, nak. Beliau menjadi periwayat hadits kedua terbanyak setelah Abu
Hurairoh.
Kamu
tentu sering dengar Ali bin Abi Thalib, anakku. Beliau sudah menjadi bintang
lapangan pada Perang Badr, saat usianya masih sekitar 25 tahun. Beliau menjadi
pimpinan pasukan Perang Khaibar, beberapa tahun kemudian, yang akhirnya menang
gemilang. Beliau yang membunuh Marhab, panglima besar Yahudi. Semua dalam usia
belia, anakku.
Imam
Bukhori yang menyusun hadits tershahih sampai sekarang, beliau mulai berkelana pada
umur 16 tahun. Jiwa muda yang tetap teguh belasan tahun menghimpun
hadits-hadits shahih. Kamu tahu apa yang terjadi pada Imam Bukhori, anakku?
Beliau diusir dari kampung dan menjadi musuh banyak orang pada zaman itu. Tapi
itu tidak membuatnya gentar.
Selanjutnya
giliran kamu yang meneruskan perjuangan. Selamat berjuang nak, luruskan niat,
ayah doakan.
***
Tulisan
yang membakar, sebagai seorang muslim hari gini agar tidak merasa malu untuk
mentoring walaupun temen-temen seangkatannya sudah tidak banyak yang mengaji
lagi, agar tidak merasa malu untuk sholat sunnah walaupun itu kurang populer di
mushola kampus, sholat dhuha ketika pergantian sesi kuliah yang pendek, agar
tidak merasa malu untuk membaca Al Qur’an atau menunjukkan identitas muslim
kita yang lain baik di halte, di angkot, di kereta, dimanapun kita berada.
Bukan hanya ketika kita berada ditengah-tengah komunitas kebaikan kita..
Karena
keshalihan seseorang dinilai ketika kita dalam kondisi sendirian,
bukan ketika kita ditengah-tengah kerumunan!
Saat-saat
kita bengong, di pojok kamar, di depan laptop, di atas motor sendirian, di
angkot atau kereta, saat orang-orang terdekat tidak sedang membersamai kita..
Terus
evaluasi dan jaga diri kita sahabat, tanpa perlu mempedulikan pandangan
orang-orang lain, karena yang terpenting bagaimana Allah memandang kita nanti
ketika kita dihisab kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar